Wednesday, March 16, 2011

Mata Hati

Bashirah sama artinya dengan akal, kecerdikan, saksi, argumentasi, penjelasan, atau petunjuk. Menurut istilah tashawuf, arti bashirah adalah hati yang diterangi oleh sinar kepastian yang tersembunyi dan tidak tampak, yakni daya kalbu yang mempunyai kemampuan melihat hakikat sesuatu karena mendapat sinar dari nuur (cahaya ketuhanan). Daya yang demikian disebut pula dengan istilah al-quwwah al-qudsiyyah (daya kesucian).

Seorang teolog Arab al-Jurjani (1340-1431) mengatakan ada pandangan mata kepala (bashar), dan ada pandangan mata hati (bashirah). Bila bashar adalah pandangan mata lahir yang hanya dapat melihat sesuatu yang bersifat material dan konkrit, maka bashirah adalah pandangan mata hati yang dapat melihat sesuatu secara spiritual dan abstrak. Seorang peneliti ilmu tashawuf, Nicholson, mengatakan bahwa, kaum sufi memandang Tuhan bagaikan sinar yang menerangi surga dan dunia, yang tidak terlihat oleh mata kepala manusia. la hanya terlihat oleh bashirah (mata hati), dan itulah hati yang diterangi oleh cahaya kepastian yang tersembunyi dan tidak pernah akan tampak oleh mata lahiriyah.

Ketika ada yang bertanya kepada Ali bin Abi Thalib: “Apakah engkau melihat Tuhan?” la menjawab: “Bagaimana kita dapat mengabdi kepada Yang Maha Esa kalau kita tidak dapat melihat-Nya”. Yang dimaksud di sini adalah bukan melihat-Nya dengan bashar, tetapi dengan bashirah.

Menurut kalangan kaum sufi, kebutaan mata hati seseorang sangat erat kaitannya dengan masalah dosa dan perasaan cinta kepada Tuhan. Orang yang senantiasa berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan, akan dihapus dosa dari hatinya, dan dengan demikian mata hatinya lebih nyalang. Sebaliknya bagi orang yang senantiasa bergelimang dengan maksiat, hatinya akan semakin tertutup kepada kebenaran.

Al-Ghazali mengatakanbahwa, mata hati manusia laksana cermin. Jika dibersihkan terus menerus ia akan mengkilat dan dapat menangkap cahaya dan gambar yang ada dihadapannya. Sebaliknya jika dibiarkan kotor dan tidak pernah dibersihkan, ia tidak akan mampu menangkap cahaya dan gambar apapun di depannya. Akal manusia memang dapat memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya, namun kemampuan akal sangat terbatas dan penuh spekulasi sehingga tidak mungkin mencapai kebenaran yang sebenarnya.

Pembuktian rasional yang bersumber dari akal tidak lebih hanya berupa gerak pikiran dari suatu pengertian menuju pengertian lain, atau dari premis-premis menuju kesimpulan. Pengetahuan yang demikian, biasanya hanya mampu memberikan pengertian sesuatu tetapi tidak mampu melihat hakikat secara meyakinkan. Bagaimanapun kemampuan seseorang merangkai dalil atau menyusun kalimat, tanpa ada nuur yang menerangi hatinya itu hanya melahirkan ke-aku-an dan keangkuhan yang menghilangkan peran Tuhan pada dirinya.

Ibnu Arabi berpendapat bahwa, kekuatan mata hati akan bertambah kemampuannya apabila tidak banyak dipengaruhi oleh jiwa hewani yang ada dalam tubuh manusia, dan tidak banyak terkait dalam hal-hal yang bersifat material. Ketika mata hati sudah tidak banyak menerima pengaruh dunia (material) ia akan sanggup memandang langsung realitas sejati.

Abdul Karim bin Ibrahim al-Jili mengatakan bahwa, jiwa manusia berbeda dengan tubuhnya. Jiwa secara langsung berasal dari Tuhan sedangkan tubuh dijadikan dari sari tanah. Pada dasarnya sifat dan naluri hati itu adalah baik karena ia bersifat ilahiyah. Namun orang mengotorinya dengan berbuat dosa sehingga penuh noda hitam.

Terlepas pro dan kontra tentang pemaknaan bashirah, saat ini kita membutuhkan suatu pemahaman tentang makna hidup yang sesungguhnya, agar kita tidak tersesat menyikapi hidup di dunia sebagai jembatan menuju akhirat. Tatanan hidup yang telah digariskan al-Quran dan al-Sunnah tidak boleh dilanggar dalam bentuk apapun. Sebab sebesar dan sekecil apapun perbuatan akan mendapat imbalan. “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun niscaya dia menerima melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun niscaya ia akan menerima (balasan) nya pula“. (QS.Al-Zalzalah[99]:7-8).

Rasa harap dan rasa takut kepada Tuhan harus dialami sekaligus setiap berbuat sesuatu. Keduanya merupakan suasana batin yang dialami seseorang dalam aspek ke-Tuhanan manusia (lahut) dengan aspek kemanusiaan (nasut). Dengan perpaduan antara batin manusia dan pengawasan adanya Tuhan, manusia diharapkan senantiasa mempunyai kontrol yang efektif .untuk berbuat sesuatu. Pemahaman bahwa semua aktivitas kerja adalah amanah, merupakan pengendalian diri yang pada hakikatnya ia telah berada dalam naungan nuur yang terpancar dari mata hati yang sesungguhnya.

Untuk menjadikan seorang hamba yang mulia dengan hasil aktivitasnya, kontrol adalah senjata utama, dan kontrol yang paling terbaik adaah kesadaran jiwa.

Sumber : Buletin Mimbar jum’at No. 31 Th. XXII - 1 Agustus 2008

No comments:

Post a Comment